Selasa, 23 Juni 2009

LITBANG PENGOLAHAN DAN PEMANFAATAN MINERAL


Litbang Pengolahan dan Pemanfaatan Mineral merupakan salah satu kegiatan tertua dan sebagai cikal-bakal dari Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara. Dimulai pada tahun 1960 bernama Balai Penelitian Tambang Dan Pengolahan Bahan Galian (BPT/PBG). Kemudian pada tahun 1976 terjadi pengabungan antara BPT/PBG dengan Akademi Geologi dan Pertambangan (AGP) menjadi institusi baru bernama Pusat Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM). Selanjutnya berubah menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral (PPPTM) dan akhirnya saat ini menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara (tekMIRA).




KelompokLitbang ini terdiri dari sub-sub kelompok Karakterisasi Mineral, Pengolahan Mineral Industri, Pengolahan Mineral Logam, Pengolahan dan Pemanfaatan Limbah Industri Mineral, dan Teknologi Bahan.

Pada dasarnya, tugas pokok dan fungsi Kelompok Litbang Pengolahan dan Pemanfaatan Mineral adalah melaksanakan kegiatan litbang yang terkait dengan seluruh mineral, baik mineral logam maupun non-logam, kecuali batubara. Selama keberadaannya, Kelompok ini telah berhasil melakukan litbang yang menyangkut peningkatan nilai tambah berbagai jenis mineral, sebagai bagian dari upaya menyiapkan bahan baku untuk industri berbasis mineral. Bahkan untuk mengintegrasikan kegiatan litbang pengolahan mineral, mulai pada tahun 2005 telah dirintis pembangunan pilot plant pengolahan mineral secara terpadu di daerah Citatah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Diharapkan, pilot plant dapat beroperasi pada tahun 2010.

Sehubungan dengan upaya Puslitbang tekMIRA meningkatkan pemanfaatan batubara sebagai energi pengganti bahan bakar minyak (BBM), Kelompok Litbang Pengolahan dan Pemanfaatan Mineral telah mengimplementasikannya dalam beberapa kegiatan, yaitu:

Pemanfaatan katalis yang berasal dari limonit untuk proses pencairan batubara.
Batubara cair yang telah dicanangkan sebagai sumber energi alternatif untuk menambah pasokan BBM, memerlukan katalis untuk mendapatkan hasil cairan yang tinggi dengan proses cepat. Katalis berbasis besi diprediksi akan menjadi katalis yang banyak dipakai di masa mendatang. Katalis dimaksud adalah limonit yang sangat potensial digunakan ditinjau dari aspek harga dan kereaktifannya. Sumber limonit itu sendiri banyak terdapat di Soroako (PT Inco), Sulawesi Tenggara dan Pomalaa (PT Aneka Tambang), Sulawesi Selatan.
Kegiatan penelitian meliputi pengamatan transformasi limonit menjadi pirotit pada proses sulfidasi, serta pengkajian faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan mineral tersebut agar diperoleh tingkat pencairan batubara yang tinggi. Selain itu dikaji pula jumlah cadangan limonit di Soroako dan Pomalaa, sampai sejauh mana mampu mendukung kegiatan pencairan batubara.
Abu terbang pada PLTU
Setelah berhasil melaksanakan percobaan pada skala laboratorium terhadap abu terbang PLTU Suralaya, Litbang Pengolahan dan Pemanfaatan Mineral akan berupaya
Strategi Litbang dari Kelompok Program Teknologi Pengolahan Mineral didasarkan pada program-program terkini yang diminta baik oleh masyarakat industri pengguna mineral maupun pemerintah.
Saat ini beberapa industri yang terkait dengan bahan baku mineral adalah Industri logam, Industri Aneka, Industri Kimia, Industri Keramik, Industri Konstruksi/Bangunan, Industri Perminyakan, dan Industri Pertanian/Perkebunan,Perikanan/Peternakan.

Selengkapnya...

LIMBAH SAMPAH :

1. Sampah dari Pemukiman
Umumnya sampah rumah tangga berupa sisa pengolahan makanan, perlengkapan rumah tangga bekas, kertas, kardus, gelas, kain, sampah kebun/halaman, dan lain-lain.
2. Sampah dari Pertanian dan Perkebunan
Sampah dari kegiatan pertanian tergolong bahan organik, seperti jerami dan sejenisnya. Sebagian besar sampah yang dihasilkan selama musim panen dibakar atau dimanfaatkan untuk pupuk. Untuk sampah bahan kimia seperti pestisida dan pupuk buatan perlu perlakuan khusus agar tidak mencemari lingkungan. Sampah pertanian lainnya adalah lembaran plastik penutup tempat tumbuh-tumbuhan yang berfungsi untuk mengurangi penguapan dan penghambat pertumbuhan gulma, namun plastik ini bisa didaur ulang.



3. Sampah dari Sisa Bangunan dan Konstruksi Gedung
Sampah yang berasal dari kegiatan pembangunan dan pemugaran gedung ini bisa berupa bahan organik maupun anorganik. Sampah Organik, misalnya: kayu, bambu, triplek. Sampah Anorganik, misalnya: semen, pasir, spesi, batu bata, ubin, besi dan baja, kaca, dan kaleng.
4. Sampah dari Perdagangan dan Perkantoran
Sampah yang berasal dari daerah perdagangan seperti: toko, pasar tradisional, warung, pasar swalayan ini terdiri dari kardus, pembungkus, kertas, dan bahan organik termasuk sampah makanan dan restoran. Sampah yang berasal dari lembaga pendidikan, kantor pemerintah dan swasta biasanya terdiri dari kertas, alat tulis-menulis (bolpoint, pensil, spidol, dll), toner foto copy, pita printer, kotak tinta printer, baterai, bahan kimia dari laboratorium, pita mesin ketik, klise film, komputer rusak, dan lain-lain. Baterai bekas dan limbah bahan kimia harus dikumpulkan secara terpisah dan harus memperoleh perlakuan khusus karena berbahaya dan beracun.



5. Sampah dari Industri
Sampah ini berasal dari seluruh rangkaian proses produksi (bahan-bahan kimia serpihan/potongan bahan), perlakuan dan pengemasan produk (kertas, kayu, plastik, kain/lap yang jenuh dengan pelarut untuk pembersihan). Sampah industri berupa bahan kimia yang seringkali beracun memerlukan perlakuan khusus sebelum dibuang.

Selengkapnya...

Alternatif Pengelolaan Sampah

Untuk menangani permasalahan sampah secara menyeluruh perlu dilakukan alternatif-alternatif pengelolaan. Landfill bukan merupakan alternatif yang sesuai, karena landfill tidak berkelanjutan dan menimbulkan masalah lingkungan. Malahan alternatif-alternatif tersebut harus bisa menangani semua permasalahan pembuangan sampah dengan cara mendaur-ulang semua limbah yang dibuang kembali ke ekonomi masyarakat atau ke alam, sehingga dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya alam. Untuk mencapai hal tersebut, ada tiga asumsi dalam pengelolaan sampah yang harus diganti dengan tiga prinsip–prinsip baru. Daripada mengasumsikan bahwa masyarakat akan menghasilkan jumlah sampah yang terus meningkat, minimisasi sampah harus dijadikan prioritas utama.

Sampah yang dibuang harus dipilah, sehingga tiap bagian dapat dikomposkan atau didaur-ulang secara optimal, daripada dibuang ke sistem pembuangan limbah yang tercampur seperti yang ada saat ini. Dan industri-industri harus mendesain ulang produk-produk mereka untuk memudahkan proses daur-ulang produk tersebut. Prinsip ini berlaku untuk semua jenis dan alur sampah.
Pembuangan sampah yang tercampur merusak dan mengurangi nilai dari material yang mungkin masih bisa dimanfaatkan lagi. Bahan-bahan organik dapat mengkontaminasi/ mencemari bahan-bahan yang mungkin masih bisa di daur-ulang dan racun dapat menghancurkan kegunaan dari keduanya. Sebagai tambahan, suatu porsi peningkatan alur limbah yang berasal dari produk-produk sintetis dan produk-produk yang tidak dirancang untuk mudah didaur-ulang; perlu dirancang ulang agar sesuai dengan sistem daur-ulang atau tahapan penghapusan penggunaan.

Program-program sampah kota harus disesuaikan dengan kondisi setempat agar berhasil, dan tidak mungkin dibuat sama dengan kota lainnya. Terutama program-program di negara-negara berkembang seharusnya tidak begitu saja mengikuti pola program yang telah berhasil dilakukan di negara-negara maju, mengingat perbedaan kondisi-kondisi fisik, ekonomi, hukum dan budaya. Khususnya sektor informal (tukang sampah atau pemulung) merupakan suatu komponen penting dalam sistem penanganan sampah yang ada saat ini, dan peningkatan kinerja mereka harus menjadi komponen utama dalam sistem penanganan sampah di negara berkembang. Salah satu contoh sukses adalah zabbaleen di Kairo, yang telah berhasil membuat suatu sistem pengumpulan dan daur-ulang sampah yang mampu mengubah/memanfaatkan 85 persen sampah yang terkumpul dan mempekerjakan 40,000 orang.
Secara umum, di negara Utara atau di negara Selatan, sistem untuk penanganan sampah organik merupakan komponen-komponen terpenting dari suatu sistem penanganan sampah kota. Sampah-sampah organik seharusnya dijadikan kompos, vermi-kompos (pengomposan dengan cacing) atau dijadikan makanan ternak untuk mengembalikan nutirisi-nutrisi yang ada ke tanah. Hal ini menjamin bahwa bahan-bahan yang masih bisa didaur-ulang tidak terkontaminasi, yang juga merupakan kunci ekonomis dari suatu alternatif pemanfaatan sampah. Daur-ulang sampah menciptakan lebih banyak pekerjaan per ton sampah dibandingkan dengan kegiatan lain, dan menghasilkan suatu aliran material yang dapat mensuplai industri.
Melalui proses dekomposisi terjadi proses daur ulang unsur hara secara alamiah. Hara yang terkandung dalam bahan atau benda-benda organik yang telah mati, dengan bantuan mikroba (jasad renik), seperti bakteri dan jamur, akan terurai menjadi hara yang lebih sederhana dengan bantuan manusia maka produk akhirnya adalah kompos (compost).
Setiap bahan organik, bahan-bahan hayati yang telah mati, akan mengalami proses dekomposisi atau pelapukan. Daun-daun yang gugur ke tanah, batang atau ranting yang patah, bangkai hewan, kotoran hewan, sisa makanan, dan lain sebagainya, semuanya akan mengalami proses dekomposisi kemudian hancur menjadi seperti tanah berwarna coklat-kehitaman. Wujudnya semula tidak dikenal lagi. Melalui proses dekomposisi terjadi proses daur ulang unsur hara secara alamiah. Hara yang terkandung dalam bahan atau benda-benda organik yang telah mati, dengan bantuan mikroba (jasad renik), seperti bakteri dan jamur, akan terurai menjadi hara yang lebih sederhana dengan bantuan manusia maka produk akhirnya adalah kompos (compost).
Pengomposan didefinisikan sebagai proses biokimiawi yang melibatkan jasad renik sebagai agensia (perantara) yang merombak bahan organik menjadi bahan yang mirip dengan humus. Hasil perombakan tersebut disebut kompos. Kompos biasanya dimanfaatkan sebagai pupuk dan pembenah tanah.
Kompos dan pengomposan (composting) sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Berbagai sumber mencatat bahwa penggunaan kompos sebagai pupuk telah dimulai sejak 1000 tahun sebelum Nabi Musa. Tercatat juga bahwa pada zaman Kerajaan Babylonia dan kekaisaran China, kompos dan teknologi pengomposan sudah berkembang cukup pesat.
Namun demikian, perkembangan teknologi industri telah menciptakan ketergantungan pertanian terhadap pupuk kimia buatan pabrik sehingga membuat orang melupakan kompos. Padahal kompos memiliki keunggulan-keunggulan lain yang tidak dapat digantikan oleh pupuk kimiawi, yaitu kompos mampu: • Mengurangi kepekatan dan kepadatan tanah sehingga memudahkan perkembangan akar dan kemampuannya dalam penyerapan hara. • Meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air sehingga tanah dapat menyimpan air lebih ama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah.• Menahan erosi tanah sehingga mengurangi pencucian hara. • Menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah seperti cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.


Selengkapnya...

Produksi Bersih dan Prinsip 4R

Produksi Bersih (Clean Production) merupakan salah satu pendekatan untuk merancang ulang industri yang bertujuan untuk mencari cara-cara pengurangan produk-produk samping yang berbahaya, mengurangi polusi secara keseluruhan, dan menciptakan produk-produk dan limbah-limbahnya yang aman dalam kerangka siklus ekologis. Prinsip-prinsip Produksi Bersih adalah:
Prinsip-prinsip yang juga bisa diterapkan dalam keseharian misalnya dengan menerapkan Prinsip 4R yaitu:


• Reduce (Mengurangi); sebisa mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin banyak sampah yang dihasilkan.
• Reuse (Memakai kembali); sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang disposable (sekali pakai, buang). Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang sebelum ia menjadi sampah.
• Recycle (Mendaur ulang); sebisa mungkin, barang-barang yg sudah tidak berguna lagi, bisa didaur ulang. Tidak semua barang bisa didaur ulang, namun saat ini sudah banyak industri non-formal dan industri rumah tangga yang memanfaatkan sampah menjadi barang lain.
• Replace ( Mengganti); teliti barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang barang yang hanya bisa dipakai sekalai dengan barang yang lebih tahan lama. Juga telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dnegan keranjang bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua bahan ini tidka bisa didegradasi secara alami.


Selengkapnya...

Pemanfaatan Limbah Lumpur Aktif Industri Kertas Sebagai Bahan Pembuatan Pupuk Organik (Kompos) Dengan Menggunakan Metode Komposter

Keberadaan lahan pertanian di Jawa Timur selalu mengalami penyusutan yang cukup signifikan. Tiap tahun setidaknya 3.800 hektar lahan pertanian berubah menjadi industri, permukiman, jalan dan properti komersial lainnya. Bahkan pada tahun 2005, luas lahan sawah padi yang efektif tinggal 1,15 juta hektar. Dari angka ini 57,73% atau 649.175 hektar adalah sawah dengan irigari teknis dan 8,96% atau 103.887 hektar adalah sawah dengan irigasi setengah teknis (Rdi. 2008).




Kelangkaan dan mahalnya pupuk anorganik ternyata juga dapat mengancam produksi padi di jawa timur. Terbukti Pemerintah melalui Departemen Pertanian hanya mengalokasikan sebesar 1,074 juta ton atau lebih rendah dari realisasi tahun sebelumnya sebanyak 1,085 juta ton. Padahal permohonan yang diajukan Dinas Pertanian Provinsi Jatim sebanyak 1,2 juta ton. Padahal alokasi pupuk yang diajukan itu didasarkan pada laporan kebutuhan dari 38 kabupaten/kota (Astuti. 2008). Harga pupuk ureapun terbilang cukup mahal yaitu berkisar Rp 1200 per kilogram atau Rp 60.000 per sak, ukuran 50 kilogram dan pupuk SP 36 mencapai Rp 110.000 meskipun harga tersebut sudah disubsidi oleh pemerintah kemudian pupuk ZA mencapai Rp 65.000. Pupuk NPK Ponska mecapai Rp 115.000 (Anonim, 2008).


Menanggapi permasalahan di atas maka perlu adanya solusi yang tepat guna mempertahankan status lumbung padi di propinsi jawa timur, salah satunya adalah dengan memanfaatkan limbah lumpur aktif yang dikombinasi dengan kotoran hewan ternak. Limbah lumpur aktif yang merupakan endapan lumpur yang mengandung sejumlah mikroorganisme biasanya digunakan pada proses pengolahan limbah. Limbah mikroorganisme yang berperan adalah mikroorganisme prokariotik seperti jamur protozoa, rotifera, dan ganggang yang masing–masing memiliki peran tersendiri (Metclaf, 1991). Lumpur aktif juga memiliki kandungan nitrogen yang merupakan salah satu faktor penyubur tanah, sehingga lumpur aktif sangat tepat digunakan untuk bahan pembuatan pupuk organik. Disamping itu, berdasarkan observasi penulis pada perusahaan kertas Adi Prima Persada melimpahnya lumpur aktif pada industri kertas yang bisa mencapai ± 100 ton perhari juga merupakan permasalahan limbah industri yang perlu diatasi agar tidak terjadi penumpukan limbah.

Pengomposan dalam pembuatan pupuk organik di atas dapat dilakukan dengan metode komposter yang mampu memberikan hasil dan efisiensi kerja, karena metode tersebut dapat dilakukan dalam skala perorangan. Metode pengomposan dilakukan dengan maksud mengalirkan udara, memelihara kelembapan da temperatur sehingga bakteri jasad renik bekerja mengurai bahan organik secara optimal.

Melihat kurangnya pemanfaatan limbah lumpur aktif dan kebutuhan pupuk yang ramah lingkungan melatar belakangi penulisan karya tulis ilmiah ini, yaitu ingin mengetahui manfaat limbah lumpur aktif industri kertas sebagai bahan pembuatan pupuk organik (kompos) yang dikombinasikan dengan kotoran hewan ternak dengan menggunakan metode komposter untuk memberikan solusi akan kelangkaan dan mahalnya pupuk anorganik dikalangan petani, khususnya dalam melakukan proses percambahan padi IR64 yang berdasarkan data Diperta Propinsi Jawa Timur jenis padi tersebut merupakan varietas unggul tertinggi atau sebesar (40,04%) yang yang ditanam oleh petani Jawa Timur (Purbiati. 2007).

Selengkapnya...

Minggu, 21 Juni 2009

PEMANFAATAN LIMBAH MARMER SEBAGAI BAHAN PENGISI (FILLER) PADA CAMPURAN BETON ASPAL LAPIS PERMUKAAN JALAN

Pemanfaatan limbah hasil olahan sebagai alternatif bahan pengisi (filler) pada campuran beton aspal seyogyanya dilakukan, mengingat potensi ketersediaannya cukup banyak dan tidak dimanfaatkan. Telah dikakukan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji secara teknis pemanfaatan limbah marmer sebagi filler pada campuran beton aspal, dengan fokus kajian pada kinerja durabilitas campuran beton aspal. Jenis gradasi campuran yang digunakan yang digunakan mengikuti gradasi campuran No.IV SNI 1990. Penggunaan limbah marmer sebagai filler dikombinasikan terhadap debu batu, dengan kadar variasi kadar limbah marmer sebesar 0%, 50% dan 100%. Penentuan kadar aspal optimum (KAO) campuran, dilakukan dengan memvariasikan kadar aspal dari 4,5%-6,5% dengan tingkat kenaikan 0,5%.
Dari hasil analisis kinerja durabilitas campuran diperoleh nilai IKS campuran dari limbah marmer kadar 100% dan 50% berada di bawah nilai IKS campran tanpa limbah marmer, namun masih di atas nilai persyaratan minimum Bina Marga (IKS=75%) untuk durabilitas yang lebih lama (4,7 dan 14 hari) nilai IDP dan IDK campuran memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan niali IKS.





Selengkapnya...

Pengolahan Limbah Cangkang Udang


Udang adalah komoditas andalan sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku. Adapun Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor udang terbesar di dunia dengan nilai ekspor antara 850 juta sampai 1 miliar dollar AS per tahun.

Data Direktorat Jenderal Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa areal tambak udang nasional pada tahun 2003 seluas 478.847 hektar (ha) dengan volume produksi 191.723 ton atau 400 kilogram (kg) per hektar.

Untuk tahun 2004 ditargetkan usaha itu pada areal 328.425 ha dengan produksi 226.553 ton atau 690 kg per hektar. Setahun berikutnya pada areal seluas 397.398 ha dengan produksi 251.599 ton atau hanya 660 kg per hektar. Tahun 2006 seluas 480.850 ha dan 281.901 ton.



Tahun 2007 seluas 581.825 ha dan 318.565 ton, tahun 2008 seluas 704.013 ha dengan produksi 362.935 ton atau 510 kg per ha, serta tahun 2009 luas areal budidaya udang mencapai 851.852 ha serta volume produksi yang ditargetkan sebanyak 416.616 ton.

Sebagian besar udang yang dibudidayakan adalah jenis udang windu. Namun, pada dekade terakhir ini banyak yang mulai beralih ke jenis udang lain, yaitu udang vannamei (vannamei booming). Sebab, dari hasil penelitian, jenis ini lebih tahan dari serangan penyakit white spot yang banyak menyerang udang jenis lain, seperti udang windu.

Di Indonesia saat ini ada sekitar 170 pengolahan udang dengan kapasitas produksi terpasang sekitar 500.000 ton per tahun. Dari proses pembekuan udang (cold storage) dalam bentuk udang beku headless atau peeled untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang jadi limbah (bagian kulit dan kepala).

Diperkirakan, dari proses pengolahan oleh seluruh unit pengolahan yang ada, akan dihasilkan limbah sebesar 325.000 ton per tahun. Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan sebab limbah tersebut dapat meningkatkan biological oxygen demand dan chemical oxygen demand. Sedangkan selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk campuran pakan ternak saja, seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk.

Ada peluang besar dalam inovasi pengolahan limbah cangkang udang yang berbasis bioindustri perikanan dan kelautan. Sebab, limbah tersebut merupakan sumber potensial pembuatan kitin dan khitosan, yakni biopolimer yang secara komersial potensial dalam berbagai bidang dan industri.

Kitin dan khitosan merupakan bahan dasar dalam bidang biokimia, enzimologi, obat-obatan, pertanian, pangan gizi, mikrobiologi, pertanian, industri membran (film), tekstil, kosmetik, dan lain sebagainya. Di luar negeri, teknologi pengolahan limbah cangkang udang ini sudah sangat maju sehingga mereka mampu menghasilkan produk khitosan dengan berbagai variasi dan kegunaan.

Cangkang udang jenis udang windu mengandung zat kitin sekitar 99,1 persen (paling besar dari jenis udang lainnya). Dengan teknologi sederhana dan bahan-bahan yang cukup murah, serta mudah didapatkan di dalam negeri, dalam proses pengolahan limbah cangkang udang tersebut akan dihasilkan kitin dan khitosan yang cukup berkualitas.

Adapun teknologi pengolahan tersebut dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:

Demineralisasi. Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di bawah sinar matahari sampai kering, kemudian dicuci dalam air panas dua kali lalu direbus selama 10 menit. Tiriskan dan keringkan. Bahan yang sudah kering lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh.

Kemudian dicampur asam klorida 1 N (HCl 1 N) dengan perbandingan 10 : 1 untuk pelarut dibandingkan dengan kulit udang, lalu diaduk merata sekitar 1 jam. Biarkan sebentar, kemudian panaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam atau dijemur sampai kering.

Deproteinasi. Limbah udang yang telah dimineralisasi dicampur dengan larutan sodium hidroksida 3,5 persen (NaOH 3,5 persen) dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6 : 1. Aduk sampai merata sekitar 1 jam. Selanjutnya biarkan sebentar, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam atau dijemur sampai kering.

Deasetilisasi kitin menjadi khitosan. Khitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (NaOH) 50 persen dengan perbandingan 20 : 1 (pelarut dibanding kitin). Aduk sampai merata selama 1 jam dan biarkan sekitar 30 menit, lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 140°C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70°C selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Bentuk akhir dari khitosan bisa berbentuk serbuk maupun serpihan.

Untuk ekstrasi kitin dari limbah cangkang udang rendemennya sebesar 20 persen, sedangkan rendemen khitosan dari kitin yang diperoleh adalah sekitar 80 persen. Maka dari itu, dengan mengekstrak limbah cangkang udang dengan mengacu pada kapasitas produksi terpasang udang nasional sekitar 500.000 ton per tahun yang masih bisa ditingkatkan dari seluruh unit pengolahan udang yang tersebar di Indonesia yang mampu menghasilkan limbah sebanyak 325.000 ton per tahun, maka akan diperoleh kitin sekitar 65.000 ton per tahun yang apabila diproses lagi akan diperoleh khitosan sekitar 52.000 ton per tahun.

Dari sisi ekonomi, pemanfaatan kitin maupun khitosan dari limbah cangkang udang untuk bahan utama dan bahan pendukung dalam berbagai bidang dan industri sangat menguntungkan karena bahan bakunya berupa limbah dan berasal dari sumber daya lokal (local content).



Selengkapnya...

Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang Sebagai Bahan Pengawet Kayu Ramah Lingkungan


Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang umumnya diekspor dalam bentuk beku. Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun.< per persen 7,4 sebesar meningkat rata-rata Indonesia udang potensi ini Selama meningkat. terus tahun ke dari di produksi Potensi beku. bentuk dalam diekspor umumnya yang perikanan sektor andalan komoditas>

Data tahun 2001, potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton.






Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk.

Cangkang udang mengandung zat khitin sekitar 99,1 persen. Jika diproses lebih lanjut dengan melalui beberapa tahap, akan dihasilkan khitosan, yaitu:

1. Dimineralisasi

Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir, dikeringkan di bawah sinar Matahari sampai kering, lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian dicampur asam klorida 1,25 N dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam.

2. Deproteinisasi

Limbah udang yang telah dimineralisasi kemudian dicampur dengan larutan sodium hidroksida 3,5 persen dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6:1. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam.

3. Deasetilisasi khitin menjadi khitosan

Khitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (60 persen) dengan perbandingan 20:1 (pelarut dibanding khitin), lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 140°C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70°C selama 24 jam.

Khitosan memiliki sifat larut dalam suatu larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5. Sedangkan pelarut khitosan yang baik adalah asam asetat.

Pada saat ini khitosan banyak dimanfaatkan dalam bidang industri, perikanan, dan kesehatan di luar negeri, seperti untuk bahan pelapis, perekat, penstabil, serta sebagai polimer dalam bidang teknologi polimer.

Setelah khitosan diperoleh, pada dasarnya semua metode pengawetan kayu, yaitu metode pengawetan tanpa tekanan, metode pengawetan dengan tekanan, metode difusi, dan sap replacement method, bisa dipakai.

Aplikasi khitosan sebagai bahan pengawet kayu terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur pelapuk kayu dan beberapa jenis jamur lain, seperti Fusarium oxysporum dan Rhizoctania solani, serta meningkatkan derajat proteksi kayu terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah. Bahkan, kayu yang diawetkan dengan khitosan dengan metode perendaman teksturnya menjadi lebih halus.

Ini sesuai dengan sifat khitosan yang dapat membentuk lapisan film yang licin dan transparan. Hal tersebut menunjukkan bahwa khitosan memiliki potensi sebagah bahan finishing yang mampu meningkatkan tekstur permukaan kayu.

Untuk kayu-kayu berwarna terang, seperti nyatoh kuning, sengon, ramin, dan pinus, pengawetan dengan khitosan dapat meningkatkan penampilan kayu dalam hal warna kayu menjadi lebih terang. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh zat warna karotenoid yang terdapat pada udang. Namun, untuk mendapatkan hasil yang bagus, dalam proses pengawetan harus diperhatikan mengenai kondisi kayu, metode pengawetan, jenis bahan pengawet, perlakuan sebelum pengawetan terhadap kayu, dan konsentrasi bahan pengawet.

Dari segi lingkungan, penggunaan khitosan sebagai bahan pengawet kayu relatif aman karena sifatnya yang non toxic dan biodegradable. Sebab, selama ini bahan pengawet yang sering digunakan merupakan bahan kimia beracun yang kurang ramah lingkungan dan unbiodegradable.

Dari sisi ekonomi, pemanfaatan khitosan dari limbah cangkang udang untuk bahan pengawet kayu sangat menguntungkan karena bahan bakunya berupa limbah dan berasal dari sumber daya lokal (local content).

Untuk ekstrasi khitin dari limbah cangkang udang rendemennya sebesar 20 persen, sedangkan rendemen khitosan dari khitin yang diperoleh adalah sekitar 80 persen. Maka dari itu, dengan mengekstrak limbah cangkang udang sebanyak 510.266 ton, akan diperoleh khitosan sebesar 81.642,56 ton.

Jumlah yang sangat besar mengingat sebagian besar bahan pengawet kayu yang digunakan selama ini masih diimpor sehingga akan menghemat devisa negara. Untuk ke depannya, apabila limbah cangkang udang ini dikelola dengan teknologi yang tepat, akan menjadi alternatif bahan pengawet murah, alami, ramah lingkungan, dan bisa mendatangkan devisa negara jika diekspor ke luar negeri.

Karena pengawetan kayu dengan bahan pengawet alami, selain ramah lingkungan, juga menambah masa pakai kayu yang nantinya akan dapat menghemat penggunaan kayu secara nasional sehingga dapat mencegah terjadinya peningkatan kerusakan hutan dan membantu merealisasikan asas pelestarian hutan.

Selengkapnya...

Pemanfaatan Limbah Sebagai Energi Alternatif

KAYU BAKAR DAN LIMBAH PERTANIAN SEBAGAI ENERGI ALTERNATIF

Belakangan ini harga minyak dunia terus melambung tinggi bahkan sempat mencapai harga US$ 75/Barrel, sungguh suatu harga yang sangat mahal jika harga tersebut diberlakukan dipasar Indonesia. Bukan tidak mungkin jika suatu saat Indonesia menjual minyak dengan harga pasar international, jika hal itu sampai terjadi, maka bisa dipastikan masyarakat Indonesia akan mengalami kesusahan. Hal ini disebabkan ketidakmampuan masyarakat untuk membeli minyak serta kecenderungan masyarakat Indonesia yang ketergantungan dengan minyak.
Sebenarnya hal tersebut dapat dihindarkan dengan mulai mengubah pola konsumsi energi masyarakat Indonesia. Pengenalan pada berbagai jenis energi terbarukan selain minyak dan gas merupakan salah satunya. Sebenarnya Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber energi terbarukan. Berikut merupakan data potensi energi terbarukan yang ada di Indonesia (Data DESDM : Kebijakan Pengembangan Energi Terbarukan dan Konservasi Energi Hijau 2003)


: Energi biomasa meliputi kayu, limbah pertanian/perkebunan/hutan, komponen organik dari industri dan rumah tangga, kotoran hewan. Biomassa dikonversi menjadi energi dalam bentuk bahan bakar cair, gas, panas, dan listrik. Teknologi konversi biomassa menjadi bahan bakar padat, cair dan gas, antara lain teknologi pirolisa (bio-oil), esterifikasi (bio-diesel), teknologi fermentasi (bio-etanol), anaerobik digester (biogas). Dan teknologi konversi biomassa menjadi energi panas yang kemudian dapat diubah menjadi energi mekanis dan listrik, antara lain teknologi pembakaran dan gasifikasi. Sebagai negara agraris, Indonesia mempunyai potensi energi biomassa yang besar. Pemanfaatan energi biomassa sudah sejak lama dilakukan dan termasuk energi tertua yang peranannya sangat besar khususnya di perdesaan. Diperkirakan kira-kira 35% dari total konsumsi energi nasional berasal dari biomassa. Energi yang dihasilkan telah digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk kebutuhan rumah tangga (memasak dan industri rumah tangga), penggerak mesin penggiling padi, pengering hasil pertanian dan industri kayu, pembangkit listrik pada industry kayu dan gula.
Luas seluruh wilayah dunia adalah kira-kira 51 milyar ha. Dari jumlah ini 36 ha merupakan lautan dan 1,5 ha tertutup es. Wilayah daratan tersisa lebih-kurang 14 ha. Dari jumlah daratan kira-kira 45% merupakan padang pasir dan rawa-rawa, 30% terdiri atas hutan, 15% berupa tanah pertanian dan perkebunan, dan 10% berupa padang rumput.
Menurut salah satu perkiraan teoretis, jumlah biomasa yang dihasilkan setahun oleh seluruh dunia mencapai 75 milyar tonne, atau suatu ekuivalensi dari 1.500 barrel minyak sehari.
Sebagaimana diketahui, biomasa, terutama dalam bentuk kayu bakar dan limbah pertanian, merupakan sumber daya energi dunia yang tertua. Di negara-negara yang telah maju, dengan berkembangnya industri, peranan biomasa sebagai sumber energi makin berkurang, dan diganti dengan energi komersial, mula-mula batu bara, kemudian minyak bumi. Pada saat ini negara-negara industri secara praktis tidak lagi mempergunakan energi energi yang berasal dari biomasa. Pola energi dari negara-negara itu boleh dikatakan terdri atas energi komersial.
Berlainan halnya adalah di negara-negara berkembang. Sekalipun banyak negara-negara berkembang yang bergerak menuju ke arah industrialisasi, secara umum dapat dikatakan bahwa di negara-negara tersebut biomasa masih merupakan komponen yang besar dalam pola pemakaian energi. Salah satu perkiran mengatakan, bahwa pemakaian energi yang berasal dari biomasa, terutama pemanfaatan kayu bakar, limbah pertanian dan tinja hewan, mencapai 60% dari seluruh komsumsi energi.

Selengkapnya...

Energi Alternatif: Jangan Dibuang Limbah Cair Tahu!

MENIPISNYA cadangan minyak dunia serta permasalahan emisi dari bahan bakar fosil, mendorong tiap negara untuk mencari sumber energi alternatif yang lebih aman dan bermanfaat.

Apalagi seperti kita ketahui saat ini harga minyak dunia tidak stabil, sementara konsumsi BBM dalam negeri mencapai 1,3 juta/barel dibanding produksi dalam negeri cuma 1 juta/barel, membuat pemerintah menutup kekurangan dengan cara impor.

Data ESDM (2006), cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 miliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak itu akan habis dalam dua dekade mendatang.


Siska dan Noer Komari, mahasiswa Jurusan Kimia FMIPA Unlam Banjarmasin dalam penelitiannya menyebutkan, banyak sumber energi alternatif kalau cadangan minyak bumi habis. Salah satunya adalah biogas.

Biogas merupakan sebuah proses produksi gas bio dari material organik dengan bantuan bakteri, seperti sampah biomassa, kotoran manusia, kotoran hewan. Gas ini dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses anaerobik digestion.

Proses pembuatan tahu menghasilkan limbah padat dan cair. Limbah padat tahu dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan limbah cair dibuang. Air limbah tahu itu mengandung metana (CH4) lebih dari 50 persen, sehingga sangat memungkinkan untuk bahan sumber energi biogas.

Prinsip kerja biogas limbah tahu mirip dengan biogas kotoran ternak. Limbah tahu bisa diolah menjadi biogas dengan teknologi fermentasi dan filterisasi. Prosesnya, tiga lubang cor berdiameter 4,5 meter dan dalam 6 meter lengkap dengan tutup menjadi bunker. Dari bunker itu dipasang pipa 4,5 meter dan dalam 6 meter lengkap dengan tutupnya. Dari bunker itu dipasang pipa PVC sebagai saluran gas yang dihasilkan. Di dalam bunker juga dimasukkan botol plastik bekas air mineral yang dilubangi dan dimasuki kapas.

Di dalam bunker berukuran 30 m3 tersebut limbah cair bisa menghasilkan gas metana. Gas itu kemudian disalurkan melalui pipa ke rumah. Pipa yang sudah dialiri gas tersebut tinggal dicolokkan ke perapian, bisa kompor atau lampu petromak.

Dengan mengonversi air limbah tahu menjadi biogas, pemilik pabrik tahu tidak hanya menjaga lingkungan tetapi juga meningkatkan pendapatannya dengan mengurangi konsumsi bahan bakar pada proses pembuatan tahu.

Di Kalsel banyak pabrik tahu, namun limbahnya belum dimanfaatkan dengan baik. Perlu ada sosialisasi ke masyarakat tentang pemanfaatan limbah cair tahu untuk dijadikan biogas sebagai bahan bakar alternatif, sehingga dapat menghemat pemakaian BBM yang makin menipis.

Selengkapnya...


General